Artikel
Islamisasi Sebagai Pembina Kebesaran Melayu
16 Desember 2010 14:37:09 
	Oleh: Siti Chamamah Soeratno
Pengantar
Dalam rangka menyambut purnabakti tokoh yang banyak sumbangannya dalam bidang penelitian, khususnya penelitian yang memanfaatkan warisan tulisan masa lampau, layaklah apabila dipersembahkan suatu buah pikiran yang mengacu kepada suatu persoalan yang sampai sekarang ini menjadi problem atau sekurang-kurangnya menjadi tantangan bagi para peneliti dalam menghadapi aset bangsa yang berupa warisan karya tulis masa lampau. Apabila warisan tulisan merupakan sumber berita tentang kehidupan masa lampau yang informatif, yang apabila tiada yang lain menjadi sumber data yang fungsional dan potensial bagi suatu data penelitian, maka sikap dan perlakuan terhadap data dan warisan tulisan masa lampau menjadi signifikan bagi validitas suatu penelitian.
Tokoh yang sedang dirayakan, disambut dalam nuansa akademis ini, beliau Yth. Bapak Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian, M.A., yang banyak buah pikirannya telah dituangkan dalam karya tulis. Banyak karya yang telah dihasilkan kemudian dimanfaatkan oleh para kolega dan para murid serta mantan murid-muridnya. Di antaranya adalah yang berkaitan dengan warisan tulisan masa lampau. Sekurang-kurangnya tiga tulisan-pantas disebut di sini, ialah Kronik Pasai, Hikayat Perang Sabil, dan Disiplin Sejarah dan Dunia Sastra. Jangkauan perhatian yang luas pada warisan karya tulis masa lampau dari seorang tokoh yang telah berhasil menjalani baktinya yang sempurna pada dunia akademi ini, layaklah apabila kepada beliau dipersembahkan buah pikiran yang berkembang dalam kaitannya dengan bidang yang ditekuninya, yaitu bidang sejarah, khususnya sejarah yang berkaitan dengan daerah asal beliau yang juga berkaitan dengan bidang perhatian penulis, yaitu tepatnya Pasai.
Warisan masa lampau tersebut tertuang dalam dua karya populer bagi bangsa Indonesia, yaitu Hikayat Raja-Raja Pasai (HRRP) dan Sejarah Melayu (SM). Dua warisan tulisan masa lampau tersebut dapat diangkat berita tentang Islamisasi Indonesia. Sebagai karya tulis yang sering dikenal sebagai karya sastra (tentu saja dengan konsep pada waktunya) kedua karya tersebut selama ini banyak dikaji, dipandang sebagai sumber data masa lampau wilayah Melayu, termasuk Indonesia. Sebagai produk sastra yang dimanfaatkan untuk memberitakan masa lampau sering mengalami kendala, terutama apabila terdapat anakhronisme dalam diri data tersebut. Persoalan itulah yang akan dibicarakan dalam persembahan kepada beliau, tokoh yang tampaknya memiliki otoritas tinggi dalam berbicara tentang persoalan tersebut. Oleh karena itu, di sini penulis akan mengemukakan bahasan tentang persoalan tersebut, yakni tentang Islamisasi kepulauan Nusantara, khususnya Indonesia.
Dalam memanfaatkan karya-karya tulis lama sebagai sumber kajian, sering timbul masalah yang membuat para peneliti kecewa atau ragu-ragu. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan yang dikemukakan oleh A. D. Hill, bahwa dari teks HRRP ternyata hanya sepertiga bagian awal saja yang lebih mendekati fakta sejarah. Demikian pula Teuku Ibrahim Alfian yang karena kecewa terhadap kedua teks tersebut dalam menyebutkan "data sejarah" terpaksa mengambil sumber lain (1973). Pernyataan S. Hurgronje bahwa HRRP, "a children fairy story" yang tampaknya suatu puncak kefatalan teks tersebut sebagai sumber informasi terhadap sejarah bangsa Melayu yang tua, seperti yang dikemukakan oleh R. O. Winstedt (1977: 155). Data tersebut menunjukan bahwa selama ini karya-karya tulis tersebut telah dilihat dalam dimensi pragmatis lewat kajian historis atau pun filologis.
Memperhatikan data-data di atas, khususnya timbulnya masalah yang dijumpai dalam penelitian, muncul satu pemikiran untuk memandang karya tulis tersebut dalam kodrat eksistensinya. Ini berarti, bahwa teks-teks dipandang sebagai ciptaan sastra yang diatur oleh hukumnya sendiri. Berangkat dari pandangan inilah karya-karya tersebut akan dibicarakan dalam kaitan fungsi sebagai pendukung pembahasan masalah.
Sudut kajian di sini berangkat dari konsep yang pernah dikutip oleh Jonathan Culler: "Le roman est la maniere don`t cette societe se parle" (1977: 189), konsep yang menunjukkan bahwa karya tulis itu menjadi model tempat masyarakat membayangkan dirinya, satu wacana yang menjembatani upaya dalam mengungkapkan dunia (bdk. L. Goldmann, 1980: 40). Ini berarti bahwa karya sastra adalah tindak meniru kenyataan dan sekaligus mencipta atau creatio.
Untuk memahami sastra, yang sering mengganggu dalam mengikuti pandangan ini adalah pertalian antara dunia nyata dan rekaan. Dunia rekaan pada dasarnya harus berjalinan dengan dunia nyata. Tanpa kemiripan dengan kenyataan, teksnya tidak akan diakrabi oleh pembaca. Hanya dalam hal ini perlu diingat bahwa kemiripan dan kenyataan bukan tujuan melainkan hanya sarana untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca (Teeuw, 1984: 229-232).
Dari sudut pandang tersebut pemahaman terhadap data-data teks yang menunjukkan adanya kemiripan dengan dunia nyata akan diinterpretasi sebagai kreasi pengarang dalam menyatakan sesuatu kepada pembaca. Sebagai contoh adalah penyebutan "Sang Aji Jaya Ningrat" dalam SM bagi seorang Batara Majapahit yang tidak perlu dicari kecocokannya dengan fakta historis yang ada di Majapahit itu. Apakah benar-benar ada Raja Majapahit seperti yang disebut dalam SM. Ia cukup dipahami sebagai tokoh penguasa Majapahit yang luas daerah kekuasaannya, ialah serata bumi. Luasnya jangkauan kekuasaan, dijabarkan dari nama yang diberikan dalam teks SM untuknya, yaitu, Sang Raja (:Aji) yang berkuasa (:Jaya) di serata bumi (Ningrât). Sang Batara tersebut dimunculkan dalam SM dalam rangka fungsi mendukung kebesaran Melayu yang beraspek ganda, sekuler dan agama. Dengan nama raja yang hanya berjaya di bumi atau di dunia saja, Sang Batara tidak lebih unggul daripada Sultan Melayu yang berjaya di dunia (dari aspek sekuler) dan di akhirat (dari aspek agama). Dengan demikian, dalam nama Sang Batara tersebut unsur kreasi, ialah rekaan pengarang SM untuk menyediakan dukungan terhadap kebesaran Melayu, dikemukakan bersama-sama dengan unsur kenyataan, ialah Batara Majapahit. Tanpa dikaitkan dengan Majapahit, peranan Sang Aji Jaya Ningrat tidak dapat dipahami. Dengan kata lain, teksnya tidak komunikatif.
Bentuk pendekatan inilah yang akan dipakai untuk mengungkapkan islamisasi yang berperan sebagai unsur struktur SM yang menyajikan kebesaran Melayu secara utuh. Sebagai teks yang berada dalam konstalasi kesastraan Melayu, SM merupakan satu mata rantai dalam sejarah perkembangan sastra Melayu sebagai satu unsur struktur SM dibangun juga oleh interaksi teks-teks Melayu, antara lain, HRRP. Pertaliannya dengan HRRP menunjukkan bahwa kode intertekstual (R. Barthes dalam J. Culler, 1981) dimanfaatkan juga untuk membangun SM. Sejauh mana kode intertekstual (lewat HRRP) ikut membina makna SM, atau sebaliknya, hal itulah yang akan menjadi pembicaraan di sini.
Islamisasi Dalam Sejarah Melayu (SM)
Dalam bagian awal teks SM disebutkan, bahwa Sulalatussalatin (selanjutnya disingkat SS), judul yang sebenarnya dari SM, disusun dengan melibatkan sejumlah peristiwa atau riwayat yang pernah dikenal oleh pengarangnya. Dikemukakan, "Maka fakir karanglah hikayat ini kama sami`tu min jaddi wa abi dan fakir himpunkan daripada segala riwayat orang-orang tua dahulu kala". (I : 1). Data teks itu mengisyaratkan adanya keterlibatan sejumlah teks Melayu lain dalam bangunan SM.
Masuknya suatu teks ke dalam teks yang lain adalah hal yang biasa terjadi. Justru Julia Kristeva mengatakan, bahwa pada hakikatnya suatu teks merupakan bentuk absorbsi dan transformasi dari sejumlah teks lain sehingga terlihat sebagai satu mozaik (dalam J. Culler, 1977: 139). Hal tersebut menjadi lebih jelas dalam pernyataan Michael Riffaterre berikut, "The poem is made of  texts, of fragments of texts, integrated with or without conversion into a new system" (dalam Umur Junus, 1984). Demikian pula yang terjadi pada SM. Berbagai macam teks yang dapat dikenali dalam SM menjadi indikasi adanya sejumlah peranan teks-teks Melayu untuk membina/membangun SM, yang berarti, untuk menyajikan kebesaran Melayu secara utuh. Di antara teks-teks itu adalah HRRP.
Keterlibatan HRRP dalam SM pada dasarnya disebabkan munculnya kepentingan tekstual yang dipandang dapat dipenuhi oleh teks tersebut. Jadi, motivasi fungsi tersebut didorong oleh potensi teks HRRP sebagai pendukung makna teks SM. Lewat analisis tekstual dapat ditangkap makna teks SM, ialah "kebesaran Melayu secara utuh", dalam arti, mencakup aspek sekuler dan aspek agama. Dalam hal ini perlu diingat bahwa teks SM juga HRRP, adalah fakta kemanusiaan yang adalah juga fakta kemasyarakatan. Maka masing-masing merupakan bangunan yang bermakna (Significant Strukture menurut istilah Lucien Goldmann, 1981) yang berarti, makna dalam masyarakatnya. Ia merupakan bagian daripada tradisinya masing-masing. Sehubungan dengan masalah itu pulalah Andries Teeuw mengatakan bahwa teks SM dan teks HRRP masing-masing dibangun mengikuti tradisi sejarahnya sendiri, maksudnya, untuk kebesaran negerinya masing-masing (Teeuw, 1964). Dengan demikian, partisipasinya ke dalam tradisi sejarah yang lain memerlukan pergulatan yang gigih, ialah pergulatan antara dua fokus, yaitu dari fokus Pasai ke fokus Melayu (Lihat Bloom, dalam Culler, 1981). Partisipasinya dalam SM menggambarkan adanya proses dari fokus Pasai ke fokus Melayu.
Teks yang menyajikan kebesaran Melayu dengan melibatkan aspek agama selain faktor kenegaraan itu mengandung fungsi tematis yang perlu didukung oleh teks HRRP. Fungsi tersebut terutama dalam hubungannya dengan faktor keagamaan, tepatnya faktor islamisasi. Unsur islamisasi dalam SM baik bagi Pasai maupun Melayu mengindikasikan "pertalian teks dengan HRRP yang intens. Dari tataran semantisnya terlihat adanya partisipasi dalam relasi positif dan negatif (Teeuw menyebutnya relasi oposisional 1964). Dalam hal dua macam relasi tersebut, Julia Kristeva menyebutnya dengan bentuk afirmasi dan bentuk negasi (dalam Culler, 1981). Tentu saja trasformasi tradisi tentang Pasai dalam HRRP ke dalam SM dipertimbangkan berdasarkan potensinya yang akan mendukung unsur tematis SM. Maka, bagian teks tersebut tidak berpotensi sehingga tidak dipandang perlu untuk tidak dilibatkan dalam SM. Terhadap data-data teks yang terakhir ini, dilihat dalam hubungan interteks, menunjukkan adanya relasi zero.
Islamisasi Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai
Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa HRRP dibangun dalam rangka tradisi sejarah Pasai, yaitu dengan makna kebesaran negeri juga, ialah negeri Pasai. Tampaknya, dalam citra kebesaran tersebut terkandung juga aspek sekuler dan aspek agama. Namun, dalam HRRP aspek agama terasa lebih menonjol daripada aspek sekulernya. Kebesaran keduniaan yang biasanya digambarkan dengan keunggulannya terhadap negeri-negeri lain, seperti pada SM dalam HRRP tidak ekstensif. Dalam HRRP masalah islamisasi yang esensial, yakni islamisasi pertama Nusantara, didapatkan. Data-data tersebut mencetak citra sendiri bagi HRRP. Proses islamisasi Pasai dalam HRRP merupakan optimasi faktor Islam bagi Pasai. Secara lengkap proses islamisasi Pasai dalam HRRP data tersebut dikemukakan dalam dua halaman lebih (55 - 58) dan dengan bentuk penyajian yang terurai (analitis) apabila dilihat dari bentuk transformasinya dalam SM (VI:71-72).
Data-data teks tentang Islam di Pasai menurut HRRP menunjukkan bahwa Pasai adalah tempat yang pertama kali Islam. Kedatangan Islam di Pasai/Samudra kiranya sudah menjadi kehendak Rasulullah SAW, tokoh tertinggi dalam masyarakat Islam. Tampaknya, Rasulullah pulalah yang membawa Islam ke Pasai/Samudra, ialah dalam tatap muka di kala tidur antara Merah Silu dengan Rasulullah. Rasulullah pula yang mensyahadatkan dan membuat Merah Silu dapat membaca Al-quran 30 juz, yaitu setelah terlebih dahulu meludahi mulut Merah Silu. Rasulullah pula yang membuat Merah Silu telah berkhitan. Islamisasi lewat peran langsung Rasulullah kiranya menunjukkan proses yang esensial bagi Pasai. Proses yang lain dilewati melalui tokoh fakir yang dilatari oleh sabda Rasulullah juga. Proses ini pada hakikatnya merupakan proses kelanjutan dari proses yang telah ditempuh oleh Rasulullah dan merupakan pelaksanaannya. Dalam proses inilah Merah Silu tinggal dinobatkan sehingga proses islamisasi yang dilakukan oleh fakir ini berjalan lancar. Dalam proses yang kedua ini cukup dilaksanakan oleh seorang fakir, ialah fakir Muhammad, bekas raja di Maabri. Dialah pula yang melanjutkan pengislaman kepada penduduk Pasai/Samudra seluruhnya.
Data-data tentang islamisasi Pasai yang terdapat dalam HRRP diperlukan oleh SM untuk dibangun sebagai unsur tematis yang menyajikan kebesaran Melayu, bukan kebesaran Pasai. Maka untuk mengemban fungsi tersebut, teks diolah mengikuti konteks tematis SM. Dalam pengolahan teks diafirmasi atau dinegasikan sesuai dengan fungsi yang diperlukan.
Bahwa islamisasi Pasai/Samudra bermula dari sabda Nabi atau Rasulullah, serta melibatkan peranan nakhoda dari Mekah yang bernama Syaikh Ismail dan seorang fakir yang berasal dari raja di Maabri, adalah peristiwa yang fungsional dalam SM. Data-data tersebut tampaknya merupakan "wajah" islamisasi Pasai yang dikenal selama ini. Maka dengan mengafirmasikan data-data tersebut proses islamisasi Pasai dalam SM akan dikenal sehingga maknanya mudah diterima. Ia menjadi semacam the connecting link (bdk. Peranan genre menurut J. Culler, 1977) bagi pemahaman terhadap makna teksnya. Demikian pula halnya dengan unsur "mimpi", serta nama-nama tokoh, dan gelar raja Pasai setelah dinobatkan.
Dengan mempertimbangkan potensi fungsi sebagai unsur pembina citra Melayu tersebut, beberapa unsur teks HRRP perlu dimanipulasi sesuai dengan fungsinya yang baru (fungsi dalam SM). Peranan tokoh pembawa Islam yang pertama kali pastilah penting dalam suatu proses islamisasi. Oleh karena itu, peranan ini (dikemukakan dalam HRRP) dieksploitasi. Tokoh Rasulullah sebagai pemegang peranan diganti dengan tokoh lain, ialah tokoh fakir. Pemberian fungsi pada pemegang peranan tersebut pada tokoh tertinggi dalam masyarakat Islam, ialah Rasulullah, akan mencetak citra pada kesempurnaan Pasai, yang berarti bertentangan dengan citra kesempurnaan yang menurut teksnya (SM) hanya disediakan bagi Melayu. Fungsi tersebut dibebankan juga pada bentuk kalimat yang dipakai untuk mengekspresikannya, ialah, "Maka oleh fakir itu Merah Silu itu pun diislamkannya, dan diajarnya kalimat syahadat (VI: 72). Sengaja kalimat yang dipakai menggunakan bentuk pasif dengan menempatkan pelaku di depan sehingga terbaca bahwa pelakunya (fakir) ditegaskan. Penegasan diberikan juga dengan pemakaian kata gantinya, ialah "-nya" sebagai bentuk pleonasme. Pernyataan dalam teks tersebut, jelas bahwa yang mengislamkan dan mengajar syahadat. raja Pasai dalam SM bukan Rasulullah, melainkan hanya seorang fakir. Dalam SM, pada proses islamisasi Pasai tokoh Rasulullah dimunculkan juga tetapi sesudah Merah Silu diislamkan. Seolah-olah perannya akan meresmikan keislaman Merah Silu. Tatap-muka di kala tidur dengan Rasulullah hanya akan membuka jalan bagi Merah Silu untuk mendapat ludah (diludahi oleh) dari Rasulullah, unsur yang akan memberi bau harum pada tubuhnya (VI: 72). Demikian pula halnya dengan modifikasi yang dilakukan terhadap tokoh yang menobatkan dan memberi gelar Merah Silu. Dalam teks HRRP setelah diislamkan, Merah Silu kemudian dinobatkan oleh Rasulullah lewat tatap muka di kala tidur dengan gelar Sultan Malik al Saleh (57). Pemberian peran tersebut kepada Rasulullah pastilah akan menyempurnakan citra kerajaan Pasai/Samudra. Dalam SM keadaannya menjadi berlainan. Penyesuaian dengan konteks memerlukan tokoh diganti, yaitu digantikan oleh Syaikh Ismail, nakhoda kapal dari Mekah. Bagian ini pun dalam SM dikemukakan jelas-jelas, "Maka oleh Syaikh Ismail segala perkasa kerajaan yang dibawanya itu semuanya diturunkannya. Maka dinamainya Sultan Malik al Saleh" (72).
Deskripsi persyahadatan pun kiranya mengandung potensi bagi fungsi tematis SM. Oleh karena itu, data yang terdapat dalam HRRP perlu dieksploitasi. Dalam HRRP unsur tersebut dikemukakan secara analitis, ialah dengan menyajikannya dalam bentuk serangkaian dialog antara Rasulullah dengan Merah Silu (57). Dengan dialog serta bentuk narasi yang analitis, kadar islamisasi akan terasa tinggi, lebih tinggi daripada hanya diberitakan. Maka dalam SM tidak akan dikemukakan dalam bentuk yang analitis, selain karena tidak diperlukan, juga justru akan mengganggu konteks. Hal ini dapat dilihat pada bagian teks berikut, "Maka oleh fakir itu Merah Silu itu pun diislamkannya dan diajarkannya kalimat syahadat". Jsadi, peristiwanya cukup "diberitakan" untuk menjadi unsur struktur, dalam SM.
Unsur lain dari HRRP yang dimanfaatkan juga dalam SM adalah kisah perjalanan kapal nakhoda dari Mekah. Perjalanan yang dilakukan langsung dari tempat asal (Mekah via Maabri; sesuai dengan bunyi "pesan" Nabi) ke tempat tujuan (Samudra/Pasai) akan mempertegas jalur yang ditempuh oleh proses islamisasi, dengan demikian akan mempertinggi kadar citra kesempurnaannya. Jalur langsung inilah yang diterapkan dalam perjalanan islamisasi dalam HRRP. Dengan bentuk jalur itu diperoleh kesan bahwa islamisasi Samudra/Pasai dikemukakan secara jelas, dan utuh dari Rasulullah; dan bahwa Samudra/Pasailah tempat di kepulauan Nusantara ini betul-betul yang pertama Islam. Untuk menjadi unsur struktur SM, bentuk jalur perjalanannya dimodifikasikan dengan mengemukakan beberapa peristiwa yang dialami oleh kapal tersebut sehingga perjalanan tidak dapat langsung, ialah bahwa nakhoda kapal perlu bertanya karena belum tahu tempat yang akan dituju, Samudra/Pasai. (Hal ini tidak terdapat dalam HRRP). Maka kapal harus berhentu dahulu di beberapa tempat untuk menanyakan nama tempat yang disebut dalam "pesan" tersebut. Sejumlah tempat telah didatangi sebelum sampai di tempat tujuan (Samudra/Pasai), ialah, Fansuri, Lamri, Haru, dan Perlak. Di tempat-tempat itu sang fakir melaksanakan pengislaman. Peristiwa mendatangi beberapa tempat sebelum sampai di Samudra/Pasai ini dideskripsikan secara jelas, seperti berikut:
"....Berapa lamanya di laut, maka sampailah kepada sebuah negeri, Fansuri namanya. Maka segala isi negeri Fansuri itu pun masuklah Islam." (VI: 71-72)
".... Berapa lamanya maka sampai kepada sebuah negeri pula, Lamiri namanya. Maka orang Lamiri pun masuk Islam." (VI: 72)
".... Berapa lamanya, maka sampai ke negeri Haru. Maka scgala orang dalam negeri Haru itu pun masuk agama Islam."
".... Maka jatuh ke negeri Perlak. Maka mereka itu pun diislamkannya." (V1: 72).
Dari deskripsi itu jelas bahwa dalam SM Pasai bukan negeri yang pertamatama masuk Islam. Citra Pasai demikian sebagai unsur struktur SM adalah fungsional karena mengandung potensi yang mendukung kebesaran Melayu, sekurang-kurangnya akan mengurangi kadar kebesaran Pasai.
Transformasi Data Islamisasi Hikayat Raja-Raja Pasai Dalam Sejarah Melayu
Transformasi HRRP dalam teks SM akan menjadi jelas apabila data-data tersebut diteropongkan pada data-data proses islamisasi Melayu dalam SM. Peristiwa islamisasi Melayu dalam teks dikemukakan tepat sesudah episode Pasai, ialah episode yang menyajikan proses islamisasi Pasai. Keduanya terdapat dalam bab yang sama ialah Bab VI. Sultan yang mengalami proses islamisasi tersebut adalah Sultan Melayu yang pertama-tama dikemukakan dengan citra raja teladan (VI: 88). Penempatan peristiwa dalam struktur alur demikian akan diperoleh efek fungsi. Dengan struktur demikian akan diperoleh efek klimaks, ialah dari citra Pasai dalam versi Melayu kepada citra Melayu dalam versi Melayu. Hal ini pastilah merupakan fungsi yang potensial bagi citra Melayu. Masuknya peristiwa pada Sultan yang pertama diidealkan memberi citra sendiri bagi peranan Islam terhadap kingship Melayu, kingship yang tentu saja merupakan proyeksi oleh SM (VI, VII, VIII).
Islamisasi Melayu dimulai dengan pertemuan tatap muka di kala tidur Raja Tengah dengan Nabi Muhammad Mustafa SAW. Dalam pertemuan itu Raja Tengah disuruh mengucapkan syahadat, dan tanpa kesulitan perintah itu dilaksanakan. Sementara itu, nama Raja Tengah diganti oleh Rasulullah dengan Sultan Muhammad. Rasulullah pula yang memerintahkan Raja Tengah mengikut "barang laku" dan "perkataan" orang yang datang dari Mekah pada keesokan harinya, satu hal yang menjadi kelanjutan dari islamisasi yang sudah dibuka oleh Rasulullah sendiri. Pertemuan dengan Rasulullah itu pula yang telah membuat "kalam Raja Tengah berkhatan" (secara konvensi merupakan inisiasi keislaman). Dalam struktur ini, tampaknya, peran orang dari Mekah yang diberitakan Rasulullah tersebut berfungsi mengisi proses lanjutan dari islamisasi yang telah diletakkan dasarnya oleh Rasulullah. Ia, yang bernama Sayid Abdul Aziz berperan sebagai guru sembahyang. Oleh dia pulalah semua orang Melayu diajari sembahyang.
Dari pembicaraan di atas menjadi jelaslah motivasi eksploitasi teks HRRP dalam SM. Peranan islamisasi yang dilakukan oleh Rasulullah secara potensial yang dipakai dalam HRRP tidak diterapkan pada trasformasinya dalam SM karena dua hal, ialah mengurangi kadar kebesaran Melayu dan menyediakan peranan tunggal bagi Melayu yang akan dikemukakan pada bagian berikutnya. Maka seolah-olah peranan Rasulullah sebagai peletak Islam dalam proses islamisasi menjadi monopoli Melayu. Di samping itu, islamisasi Pasai seperti yang dikemukakan dalam HRRP dipakai sebagai hyprogram menurut istilah Riffaterre. Kesempurnaan citra pengislaman Pasai yang diperoleh lewat eksploitasi teks Pasai tersebut dapat dilihat juga pada data-data yang lain seperti, deskripsi peristiwa pensyahadatan Raja Pasai dalam bentuk dialog dan struktur narasi yang analitis, serta bentuk jalur perjalanan kapal yang membawa pengislaman.
Absorbsi Dalam Rangka Fungsi
Absorbsi teks HRRP oleh SM secara umum berfungsi mengangkat atau mempertinggi citra Melayu. Beberapa butir nilai yang mendukung makna SM adalah:
- Pasai bukan tempat di Kepulauan Nusantara yang pertama-tama masuk Islam. Kehebatan utama Pasai dengan ini tumbang.
- Pasai yang diagungkan keislamannya, ternyata Islamnya tidak langsung dari Rasulullah. Ada kesan tidak murni dan tidak sempurna.
- Maka Pasai yang dipandang sebagai pusat studi Islam, ternyata ilmunya tentang Islam tidak lebih tinggi dari Melayu (Data: peristiwa konsultasi masalah agama utusan Melayu ke Pasai, XII: 128).
Dari absorbsi ini dapat diketahui bahwa dalam membangun struktur SM kode intertekstual telah dimanfaatkan dengan intensif; dan ternyata efisiensi. Eksploitasi terhadap teks HRRP (maksudnya: sebagaimana yang terdapat dalam HRRP) merupakan salah satu segi fungsi yang potensial dari sejumlah hubungan antarteks dengan teks-teks Melayu lain, seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Ibn Hanafiah, Hikayat Iskandar Zulkamain, dan sebagainya.
Dalam absorbsi tersebut ekploitasi dilakukan dengan mengafirmasikan sejumlah data teks, dengan menegasikannya, atau tidak memanfaatkan sama sekali. Dari segi pertalian teks, dapat dilihat adanya relasi positif, relasi negatif, dan relasi zero.
Dari pembicaraan di atas dapat ditangkap satu latar pengantar potensi peranan islamisasi bagi citra kebesaran Melayu, ada 3 ialah:
 1. Proses islamisasi Pasai sebagai unsur struktur HRRP.
 2. Proses islamisasi Pasai sebagai unsur struktur SM.
 3. Proses islamisasi Pasai Melayu sebagai unsur struktur SM.
Masalah yang mempunyai jangkauan pembahasan yang luas karena terbina dalam jaringan yang mengemban serangkaian fungsi tematik itu, tentu saja, memerlukan pembicaraan yang memadai. Maka pembicaraan dalam kesempatan ini barulah merupakan satu titik pengundang perhatian untuk pembicaraan berikutnya yang lebih luas dan memadai.
Lepas dari materi kajian, pembicaraan ini diiringi satu kehendak akan menyajikan horizon baru dengan perspektif yang baru pula dalam memahami karya-karya lama (teks lama). Sumbangan pikiran dalam menanggapi gagasan ini pastilah akan sangat membantu bagi efisiensi pengkajian teks-teks lama dalam rangka pemanfaatannya.
Tulisan ini diakhiri dengan harapan semoga semangat meneliti yang tinggi serta semangat memanfaatkan sumber pribumi yang berupa naskah-naskah masa lampau dan daya kritis beliau, Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian, M.A. memperkuat aura penelitian di Fakultas Ilmu Budaya, khususnya pengkajian berita masa lampau bagi pengembangan bangsa dalam segenap aspeknya.
__________________________
Siti Chamamah Soeratno, adalah Ketua Aisiyah se-Asia dan Sekretaris Majelis Wali Amanah Universitas Gajah Mada.
Tulisan ini diambil dari buku Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan kepada Teuku Ibrahim Alfian, yang diterbitkan oleh Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia (Jakarta: 2002).
Kredit foto : www.pasiadindonesia.org (foto Ibu Chamamah) dan upload wikimedia.org
Tuliskan komentar Anda !
 
      	    
  	   	Member login

Bank Mandiri
Rekening Nomor :
137.000.3102288
Atas Nama :
Yayasan AdiCita Karya Nusa
Atau
Bank BCA
Rekening Nomor :
445.085.9732
Atas Nama :
Mahyudin Al Mudra
Konfirmasi pembayaran,
SMS ke : 0852 286 6060 7
atau lewat line Customer Servis di ( 0274 ) 377067
atau email akn@adicita.com atau adicita2727@yahoo.com
atau
Bagian Marketing Proyek
0852 286 6060 7
 
 
    |  Online | : 116 | 
|  Hari ini | : 952 | 
|  Kemarin | : 4.351 | 
|  Minggu kemarin | : 20.554 | 
|  Bulan kemarin | : 123.278 | 
|  Total | : 7.133.899 | 
 
   
			 
    

