Artikel
Pelestarian dan Pengembangan Budaya Berpikir Melayu
23 Desember 2010 14:47:44 
	Oleh: Sudarno Mahyudin
Pendahuluan
Kebudayaan merupakan wujud dari daya cipta, karsa, dan rasa manusia. Sebagai suatu etnis yang mempunyai sejarah cukup panjang, Melayu memiliki kebudayaan yang amat kaya, yang merupakan perwujudan daya cipta, kasra, dan rasa orang Melayu itu sendiri. Wujud daya cipta manusia berupa benda-benda hasil karya manusia. Wujud daya rasa manusia berupa aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Termasuk di sini hasil-hasil karya kesenian. Sedangkan wujud daya karsa manusia merupakan komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan lain sebagainya. Termasuk di sini karakter dan pola berpikir manusia.
Untuk melestarikan dan mengembangkan budaya atau kebudayaan sebagai wujud daya cipta, karsa, dan rasa orang Melayu, merupakan pembicaraan yang amat panjang. Tidak akan cukup diuraikan sepanjang sepuluh sampai dua puluh halaman kertas.
Mengenai kebudayaan itu sendiri sampai saat ini masih banyak orang Melayu yang keliru menggantikannya. Masih banyak yang menganggap, yang dimaksud dengan budaya Melayu adalah "kesenian Melayu". Padahal, tidak demikian adanya. Yang dimaksud dengan budaya atau kebudayaan Melayu adalah semua aspek yang merupakan perwujudan daya cipta, karsa, dan rasa orang Melayu. Apakah itu tatanan ekonomi, tatanan sosiologi, arsitektur, sistem kekerabatan, pertanian, dan sebagainya. Termasuk di dalamnya pola hidup dan berpikir masyarakat yang membentuk karakter mereka. Karena terbatasnya waktu dan ruangan, maka pada kesempatan ini saya hanya akan membicarakan budaya berpikir dalam pengertian etos berpikir Melayu.
Alasan memilih topik ini adalah:
- Budaya atau etos berpikir Melayu itu ada.
- Dalam sejarah Melayu, ada tokoh-tokoh sejarahnya yang memiliki sejarah berpikir yang brilian, yang bisa dijadikan contoh.
- Dari wacana-wacana tertulis maupun yang merupakan pembicaraan-pembicaraan masyarakat luas, budaya berpikir orang Melayu perlu dikembangkan.
Alasan lain memilih topik ini, karena saya berpendapat bahwa orang Melayu hendaklah menyadari pentingnya mengembangkan budaya berpikir mereka, karena maju mundurnya seseorang, maju mundurnya suatu kaum, bahkan suatu etnis, bergantung kepada cara mereka berpikir, yaitu cara mereka menggunakan akalnya untuk menaklukan alam, mengolah kekayaan alam yang diberikan Allah kepada manusia. Apabila cara berpikir mereka tidak berkembang, maka betapapun kaya sumber daya alam dikaruniakan Allah kepada manusia, ia akan sia-sia. Cara berpikir seseorang akan menentukan kemampuannya mengolah akalnya untuk mencapai kemajuan. Orang Melayu bisa menjadi sama majunya dengan etnis-etnis lain di dunia, jika mereka mau mengembangkan budaya berpikir mereka, seperti halnya etnis-etnis lain yang sudah maju. Dan mereka bisa melakukannya kalau mereka mau.
Alasan lainnya lagi mengapa saya memilih topik ini, adalah dari pengamatan sendiri maupun dari tulisan-tulisan di koran-koran dan buku-buku tentang orang Melayu, dapat ditarik kesimpulan bahwa etos berpikir sebagian besar generasi muda Melayu, khususnya Melayu di Riau masih amat lemah, yang menyebabkan "jongkoknya" etos kerja mereka. Karena lemahnya etos kerja tersebut menyebabkan bidang-bidang kerja yang dapat mereka garap amat terbatas. Ketergantungannya kepada pihak lain, terutama pemerintah, amat tinggi.
Supaya bisa maju dan mengejar ketertinggalannya dibanding etnis lain, orang Melayu harus menyadari bahwa mereka memang tertinggal bila dibandingkan dengan etnis lain yang sudah maju. Kesadaran itu penting dan hendaknya tidak menimbulkan rasa iri dan dengki terhadap etnis lain, sebaliknya justru membakar semangat mereka untuk maju, mengejar ketertinggalannya itu. Kesadaran itu hendaklah membuat orang Melayu berpikir dan berjiwa besar, menyusun strategi menuju masa depan yang gemilang dan berjuang untuk mewujudkannya. Itulah yang saya inginkan agar dilakukan oleh orang Melayu.
Budaya Berpikir Melayu
Kita selalu mendengar, apabila seorang ibu Melayu merasa kesal melihat kelakuan anaknya, ia lantas berkata, "Pikirlah sedikit!" Kebiasaan ini menunjukkan bahwa berpikir dahulu sebelum melakukan suatu perbuatan merupakan bagian dari kehidupan keseharian keluarga Melayu. Dengan perkataan lain, berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan suatu perbuatan merupakan budaya orang Melayu.
Yang dimaksud berpikir adalah kemampuan seseorang menggunakan akalnya untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan, dan pertimbangan positif dan negatif lainnya.
Dalam khasanah budaya Melayu, ada pepatah berbunyi, "Pikir itu pelita hati". Maknanya, untuk menyelesaikan suatu masalah haruslah digunakan akal pikiran, bukan dengan menggunakan perasaan atau hati. Ada juga pepatah berbunyi, "Ikut rasa binasa, ikut hati mati". Maknanya, untuk menyelesaikan suatu masalah yang harus diikuti adalah jalan pikiran atau akal yang sehat, bukan dengan mengikuti rasa atau hati. Kalau yang diikuti kata hati, maka pastilah akan mendapat kesulitan.  
Pepatah-petitih lain yang menunjukkan bahwa Melayu mengutamakan berpikir daripada mengikuti perasaan adalah adanya pantun nasihat sebagai berikut:
Bangsal di hula kerapatan
Sayang durian gugur bunganya
Sesal dahulu pendapatan
Sesal kemudian tiada gunanya
Sebelum melakukan suatu perbuatan hendaklah dipikirkan terlebih dahulu tentang baik-buruknya, benar-salahnya, dan untung-ruginya supaya terhindar dari sesal dan duka cita. Pepatah Melayu lain berbunyi:
Setali membeli kemenyan
Sekupang membeli ketaya
Sekali lancung ke ujian
Seumur hidup orang tak percaya
Sekali ketahuan perangai seseorang yang tidak baik, seumur hidup orang tidak akan percaya lagi. Oleh karena itu, sebelum melakukan suatu perbuatan hendaklah dipikirkan terlebih dahulu masak-masak.
Islam merupakan identitas utama Melayu. Oleh karena itu, budaya Islam juga menjadi  budaya Melayu. Etos Islam juga menjadi etos Melayu. Agama Islam menempatkan berpikir pada posisi yang amat terhormat. Salah satu hadist Rasullullah berbunyi, "Berpikir sesaat itu lebih baik daripada beribadah setahun" (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban).
Hatim berkata, ‘Dan contoh-contoh bertambahlah ilmu pengetahuan, dari mengingat-ingat bertambahlah kecintaan, dan dari berpikir bertambahlah ketaqwaan kepada Allah." Imam Syafi‘i juga berkata, "Mintalah pertolongan untuk berbicara dengan berdiam diri dan untuk mengambil keputusan dengan berpikir"
Dari contoh-contoh di atas, nyatalah bahwa Islam maupun Melayu menjadikan berpikir sebagai suatu nilai dalam kehidupan. Masalahnya sekarang, sejauh mana orang-orang Melayu menjadikan etos berpikir Melayu dan Islam itu sebagai rujukan sebelum menentukan sikap, berpikir, berbicara, dan berbuat? Sejauhmana orang-orang Melayu memahami dan mengamalkan, petuah, petatah-petitih, atau budaya berpikir Melayu dan Islam itu dalam kehidupan keseharian mereka?
Itulah masalahnya. Banyak orang Melayu kini tidak memahami dan mengamalkan budaya berpikir itu dalam kehidupan keseharian mereka, menyebabkan budaya berpikir di kalangan sebagian besar orang Melayu tidak berkembang, menyebabkan wawasan berpikir mereka menjadi amat sempit.
Pemikir-Pemikir Ulung dalam Sejarah Melayu
Dalam sejarah orang-orang Melayu (bukan sejarah Melayu atau Sulalatusalatin), tercatat paling tidak tiga orang pelaku sejarah yang menunjukkan bahwa berpikir menjadi etos di kalangan Melayu. Mereka adalah Hang Nadim, budak Melayu yang menyelamatkan Singapura dari serangan ikan Todak. Raja Kecil, pendiri kerajaan Siak Sri Indrapura, orang yang dengan kemampuan berpikirnya futuristik telah menyelamatkan Kerajaan Kubu dari perpecahan karena perebutan tahta. Datuk Rubiah, seorang wanita, kepala Suku Bebiyah (Tuk Biyah) dari Kerajaan Bangko yang terkenal dengan pernyataan-pernyataannya yang argumentatif.
Singapura Dilanggar Todak
Hatta, tiada berapa lama di antaranya (setelah Jana Khatib dibunuh atas perintah Raja Singapura, Paduka Sri Maharaja), maka datanglah Todak menyerang Singapura. Maka segala orang yang tinggal di pantai itu banyak mati dilanggar oleh Todak tersebut. Paduka Sri Maharaja pun segera naik gajah, lalu beliau keluar diiringi oleh segala menteri, hulubalang, dan sida-sida bentara sekalian. Setelah datang ke pantai, baginda pun heran melihat perihal Todak itu: batang yang kena dilompatinya sama sekali mati!
Baginda pun menitahkan orang berkotakan betis, maka dilompati oleh Todak itu, terus berkancing ke sebelah. Adapun Todak itu seperti hujan, usahkan kurang, makin banyak orang mati. Syahdan, pada antara itu, datanglah seorang budak, Hang Nadim, kemudian ia berkata, ‘Apa kerja kita berkotakan betis ini? Mendayakan diri kita. Jika berkotakan batang Pisang, alangkah baiknya."
Segeralah dikerahkan orang berkotakan batang Pisang. Maka segala Todak yang melompat itu lekatlah jongornya, tercacak kepada batang Pisang, dibunuh oranglah bertimbun-timbun di pantai itu, hingga tiadalah termakan lagi oleh segala rakyat. Maka Todak itu, tidaklah melompat lagi (Sulalatussalatin, hal. 63).
Metafora
Sejarah Melayu, di samping berisi catatan-catatan peristiwa, juga merupakan suatu sastra besar orang Melayu. Sebagai suatu karya sastra Melayu Sulalatussalatin penuh dengan metafora-metafora. Di balik yang tersurat, selalu ada yang tersirat, kadang-kadang maknanya amat dalam.
Kisah "Singapura Dilanggar Todak" itu melukiskan sikap orang Melayu menghadapi keadaan yang darurat yang tidak diduga sebelumnya. Kisah tersebut sekaligus memberikan contoh cara berpikir dan bertindak yang salah dan yang tepat dalam menghadapi keadaan darurat. Paduka Sri Maharaja hanya memikirkan tindakan, tanpa memikirkan kemungkinan hasil yang akan dicapai dari tindakan itu. Akibatnya, ratusan prajurit dan rakyat yang menjadi pagar betis tewas dilanggar Todak.
Sebaliknya, Hang Nadim memikirkan tindakan sekaligus tindakan yang patut dan kemungkinan hasil yang akan dicapai. Begitu pagar betis diganti dengan pagar batang Pisang, semua kesulitan teratasi, sehingga keadaan darurat berakhir dengan baik.
Dan, setelah sekian ratus tahun ketika Hang Nadim memutuskan tindakan yang tepat mengatasi keadaan darurat, barulah orang dapat menganalisa cara berpikirnya. Kini, baik Edward de Bono, pakar teori berpikir Inggris, maupun Doug Hooper, pakar teori Amerika, sama-sama berpendapat bahwa ketika menghadapi keadaan darurat, orang tidak hanya memikirkan tindakan yang patut, tapi harus pula memikirkan kemungkinan hasil yang akan dicapai dari tindakan itu. Ketika orang Barat baru memulai menyusun teorinya, orang Melayu sebenarnya telah mengamalkannya pada sekian ratus tahun yang lalu.
Futuristik
Orang Melayu tempo dulu pun mampu berpikir futuristik. Ketika baru berdiri Kerajaan Kubu (sekarang Kecamatan Kubu, Kabupaten Rokan Hilir, Riau) hanya ada dua suku, yaitu Suku Rawa dan Suku Hambaraja. Generasi kedua petinggi negeri itu, yaitu Raja Megat Mahkota, Raja Kubu dan sekaligus kepala suku Rawa berseteru dengan Bendahara Banda Jalal, kepala suku Hambaraja, karena berebut tahta Kubu. Padahal keduanya berkakak adik ipar. Kakak Banda Jalal bernama Tun Rinti menikah dengan Megat Mahkota.
Menghindarkan pertumpahan darah, Megat Mahkota beserta pengikut-pengikutnya mengungsi ke Siak. Ditinggal pergi rajanya, Kerajaan Kubu kacau-balau. Banda Jalal sadar akan kesalahannya. Ia menyusul kakak iparnya ke Siak dan memintanya untuk pulang. Mula-mula Raja Megat Mahkota enggan, tetapi kemudian keduanya menghadap Sultan Siak I, yaitu Raja Kecil (1723-1746). Raja Kecil menasihatkan, jika di sebuah negeri hanya ada dua suku, jika terjadi perseteruan di antara mereka, tidak ada yang memisah. Raja Kecil memberi contoh pemerintahan Rasullullah SAW. Menurut Raja Kecil, pemerintahan Rasullullah kuat lantaran didukung oleh empat sahabat. Oleh karenanya, jika Raja Kubu menginginkan suatu pemerintahan yang kuat, ia harus didukung oleh empat penasehat yang merupakan para kepala empat suku yang ada di negeri itu. Karena di Kubu baru ada dua suku, atas anjuran Raja Kecil dibentuklah dua suku baru, yaitu Suku Haru dan Suku Bebas. Kepala suku-kepala suku itu menjadi penasihat Raja yang disebut "Datuk Empat Suku". Sejak itu, pemerintahan di Kerajaan Kecil menjadi stabil. Kini, Kerajaan Kubu menjadi bagian dari Republik Indonesia dan berstatus kecamatan.
Lebih dua ratus tahun kemudian, seharusnya orang-orang Suku Hutu dan Tutsi di Afrika harus belajar dari Raja Kecil. Dalam permusuhan bebuyutannya, dua suku di Burundi itu tak henti-hentinya saling bunuh satu sama lain, karena tak ada yang memisahkan. Kalau saja petinggi Burundi mau belajar dari Raja Kecil yang telah membentuk dua suku baru, mungkin genocide di negeri itu akan berakhir dengan sendirinya.
Argumentatif
Bertindak argumentatif juga merupakan bagian dari sejarah alam berpikir Melayu. Alkisah, dahulu di Kerajaan Bangko (sekarang Kecamatan Bangko, Kabupaten Rokan Hilir, Riau) ada suku bernama Bebiyah (Tuk Biyah). Pemimpinnya seorang perempuan, Datuk Rubiyah namanya. Untuk warga sukunya, Datuk Rubiyah menentukan hak ulayat (dusun) jatuh kepada anak perempuan. Kalau tak ada anak perempuan, maka hak itu jatuh kepada kemenakan perempuan. Yang laki-laki hanya "tumpang makan", hanya boleh mengambil hasil tanah ulayat untuk dimakan sendiri. Tetapi bila anak laki-laki itu dihukum oleh hakim untuk membayar sejumlah denda atau untuk membayar utang, ia diperkenankan mengambil hasil bumi tanah ulayat itu untuk pembayaran denda atau utang tersebut. Boleh dikatakan, adat yang demikian hanya satu-satunya di Nusantara ini, apalagi di negeri itu.
Yang menarik adalah dasar pemikiran Datuk Rubiyah yang menghasilkan suatu keputusan yang di negeri itu dinilai amat kontroversial. Memang, pada masa itu biasa terjadi harta-benda keluarga atau warisan bisa musnah di meja judi atau untuk berfoya-foya atau dijual guna pembayar utang atau denda akibat kejahatan atau pelanggaran adat yang dilakukan oleh anak laki-laki. Anak perempuan hampir tak pernah melakukan kesalahan yang demikian.
Bagi dunia luar (Barat), yang menarik justru argumen lahirnya keputusan itu. Keputusan itu lahir dari suatu pemikiran berdasarkan fakta dan dibuat untuk kepentingan sukunya di masa depan. Dengan keputusannya itu, Datuk Rubiyah mengharapkan agar adat dapat menjaga harta-benda milik suku, tetap utuh dengan jaminan moral yang tinggi dari kaum perempuan. Dasar pemikiran Datuk Rubiyah ini menjadi pemikiran dan topik pembicaraan gerakan kaum perempuan di Eropa pada masa itu (± tahun 1916). Bagi saya, Datuk Rubiyah, perempuan sederhana dari Desa Bentayan ini, patut dijadikan profil perempuan pemikir Melayu.
Pandangan Barat tentang Berpikir
Dari uraian di atas tampak bahwa berpikir dalam etnis Melayu adalah etos. Etos berpikir Melayu semakin kuat karena Islam sebagai identitas Melayu pun memahami berpikir sebagai etos. Menurut Norman Vincent Peal, seorang konsultan kesohor di Amerika, berpikir telah menjadi objek penelitian di Eropa sejak akhir abad ke-19. Dari penelitian ini, muncul teori-teori berpikir, seperti berpikir positif, lateral, dan lain sebagainya.
Di negara-negara Barat berpikir telah menjadi disiplin. Ilmu tersebut diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan tertentu. Sepuluh tahun terakhir ini koran-koran Malaysia gigih menyajikan kolom-kolom tetap mengenai teori-teori pola berpikir modern. Mereka mengulas teori-teori berpikir para pakar teori berpikir Barat, seperti Norman Vineent Peale, Edward de Bono, Napoleon Hill, dan beberapanya lagi. Dengan mempelajari pola berpikir modern itu, konon amat berpengaruh pada pola berpikir generasi muda Malaysia kini.
Koran-koran Indonesia, baik yang terbit di pusat maupun di Riau, tak pernah secara khusus menyajikan kolom tetap mengenai pola berpikir. Namun di toko-toko buku amat banyak dijual buku-buku tentang cara menggunakan otak ini, ditulis oleh penulis-penulis Barat, maupun oleh wiraswastawan Indonesia sendiri. Di Jepang, buku-buku mengenai cara berpikir modern ini, terutama yang ditulis oleh penulis-penulis non fiksi Barat, laku seperti "pisang goreng". Keadaan itu amat mempengaruhi cara berpikir generasi muda negeri matahari terbit itu.
Seperti halnya orang-orang Melayu-Malaysia, orang Melayu-Riau pun perlu mempelajari teori-teori tentang pola-pola berpikir modern. Menurut Norman Vincent Peak, penemuan terpenting di abad 20 ini adalah bahwa manusia bisa mengubah pola hidupnya dengan cara mengubah pola berpikirnya. Orang Melayu bisa mengubah pola berpikirnya, semodern apa pun, tentu saja kalau mau, karena Melayu memiliki etos berpikir yang kuat. Membentuk pola pikir itu amat penting karena menyangkut efisiensi dalam berpikir dan efektivitas dalam bertindak. Walaupun Melayu memiliki etos berpikir yang kuat, tetapi kalau budaya berpikir itu tidak berkembang, maka yang terjadi adalah kekerdilan dalam menggunakan akal, sehingga sudut pandangnya sempit. Selanjutnya terjadi pula pemborosan potensi berpikir yang ujungnya tindakan yang tidak efektif, sehingga berkesan tidak rasional. Padahal etos berpikir kita jelas, pikir itu pelita hati, ikut hati mati, ikut rasa binasa.
Kebudayan Melayu pun sebenarnya bisa menerima perubahan-perubahan, termasuk perubahan dalam pola berpikir. Sebab, orang Melayu memiliki pula etos perubahan dan pembaharuan yang tegas dengan pepatahnya berbunyi, "Sekali air bah, sekali tepian berpindah." Atau juga pepatah ini:
Akal tak sekali tiba,
Pikiran tak sekali datang
Alah bisa tegal biasa
Maknanya, suatu pekerjaan yang susah, kalau biasa dilakukan akan menjadi mudah. Mengubah tabiat memang susah. Dalam budaya Melayu ada pepatah berbunyi, “Bagai mengubah takuk". Artinya, sangat susah mengubah kelakuan seseorang yang sudah menjadi kebiasaannya. Namun dalam budaya Melayu ada pula pepatah yang berbunyi, Belakang parang pun kalau diasah akan tajam". Maknanya, orang yang bodoh, jika rajin belajar akan pandai juga. Dapat juga diartikan, suatu pekerjaan yang sulit kalau dikerjakan secara terus-menerus dengan tekun, lama-lama akan menjadi senang juga.
Begitu juga halnya dengan tabiat orang Melayu. Kalaupun ada orang Melayu yang malas, culas, iri, dengki, menunggu, dan sifat-sifat negatif lainnya, bisa berubah menjadi sebaliknya, jika mereka mau berusaha untuk mengubahnya. Biasakan meninggalkan perangai yang negatif dan biasakan menggantikannya dengan yang positif. Niscaya, bak kata pepatah, ‘”alah bisa tegal (karena) biasa".
Hambatan bagi generasi muda Melayu untuk mengembangkan budaya berpikir adalah mereka tidak suka membaca. Jangankan teori-teori berpikir Barat, budayanya sendiri yang merupakan tunjuk ajar Melayu pun tidak pernah mereka baca. Sehingga jangankan mengamalkannya, tahu pun tidak. Oleh karena itu, budaya berpikir mereka tidak berkembang. Fenomena ini membuat mereka bersifat menunggu, kurang berinisiatif, tak dapat menciptakan sendiri kesempatan-kesempatan. Bahkan kesempatan emas yang ada di negeri sendiri pun sering direbut orang lain, karena orang Melayu tidak siap untuk bersaing. Inilah fenomena Melayu, yang menurut Mahathir Mohamad suatu "dilema Melayu".
Pandangan Orang Melayu tentang Takdir
Alkisah, terjadilah perdebatan sengit antara Mahathir Muhammad (waktu itu belum jadi PM Malaysia) dengan Prof. Ungku Aziz, pakar ekonomi yang waktu itu Vice Chancelor (Wakil Rektor) Universitas Malaya. Perdebatan itu terjadi di sebuah seminar di Kuala Lumpur tahun 1966 yang membahas sebab-sebab rendahnya kemampuan mahasiswa Melayu menghadapi ujian, sehingga banyak yang gagal. Mahathir mengatakan salah satu penyebab rendahnya kemampuan mahasiswa Melayu adalah faktor keturunan. Mahathir bermaksud menyoroti faktor intrinsik tertentu yang menghambat perkembangan orang Melayu.
Menurut Mahathir, orang Melayu percaya, ciri-ciri tertentu orang tua dapat diturunkan kepada anaknya. Alasannya, ada pepatah Melayu yang berbunyi, ‘Bapak borek, anak berintek" (bapak burik, anak berintik). Sebenarnya pun Mahathir hanya mengatakan salah satu faktor, masih ada faktor lain yang mempengaruhi. Tetapi pihak lawannya menyoroti pendapatnya mengenai faktor keturunan itu.
Prof. Ungku Aziz dan kawan-kawannya menentang pendapat Mahathir itu. Mereka menilai pendapat Mahathir mengandung implikasi, orang Melayu secara alamiah inferior (mempunyai kemampuan lebih rendah) dari etnis lain. Inferioritas itu bersifat turun-temurun, berarti permanen sehingga dapat diartikan inferioritas orang Melayu dibandingkan etnis lain adalah takdir. Konotasi demikian itulah yang ditolak lawan-lawan Mahathir dalam hal tersebut.
Dalam khazanah budaya Melayu, ada beberapa pepatah yang kalau salah dalam memahaminya bisa menjejas etos kerja Melayu. Pepatah tersebut adalah, "Secupak tak akan menjadi segantang dan rezeki elang tak akan dimakan musang". Pepatah ini bisa diartikan, rezeki manusia sudah diukur dan ditentukan Tuhan. Apapun yang dilakukan manusia tak ada gunanya, karena rezekinya sudah ditentukan dari atas. Kalau memang sudah ditentukan Tuhan menjadi rezeki seseorang, tak akan diserobot orang lain.
Dalam Islam dikenal beberapa aliran mengenai takdir ini. Tulisan ini hanya akan membicarakan yang pokok-pokoknya saja dan bukan pula umpan memancing polemik mengenai takdir. Saya hanya ingin orang Melayu tidak merasa ditakdirkan sebagai orang malas dan tak berdaya, dan orang Melayu tidak merasa ditakdirkan punya kesempatan maju dan menjadi besar serta kaya seperti etnis lainnya. Faktornya hanya perkara mau maju atau tidak.
Salah satu aliran yang cukup terkenal disebut aliran "Jabariyah". Menurut golongan ini, hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala apa yang diperbuat manusia dan semua pekerjaan manusia sejak semula telah diketahui Allah. Perbuatan dan pekerjaan manusia itu adalah dengan kodrat dan iradat Allah semata, manusia tidak dapat mencampuri sama sekali. Dengan perkataan lain, usaha manusia bukanlah faktor yang ikut menentukan (Arifin Jamian M, hal. 51).
Konon, pada zaman kolonialisme ajaran Jabariyah ini disokong penuh dengan maksud agar supaya orang Melayu menjadi malas berusaha. Sebab berusaha apapun percuma, karena segala sesuatunya sudah ditentukan dan diputuskan oleh Allah SWT. Mungkin karena itu, pepatah Melayu yang, "Secupak tak akan menjadi segantang dan rezeki elang tak akan dimakan musang", menjadi begitu berpengaruh dalam kehidupan orang Melayu.
Pendapat lain yang bertentangan dengan pendapat golongan Jabariyah itu adalah aliran "Qadariyah". Golongan ini berpendapat, manusia sendirilah yang mengetahui serta mewujudkan apa yang diamalkannya. Semuanya terjadi dengan kodrat dan iradat manusia itu sendiri. Tuhan sama sekali tidak campur tangan dalam membuktikan amalan itu. Menurut aliran ini, manusia berkuasa menentukan perbuatannya dan ia mempunyai kebebasan mutlak.
Aliran Qadariyah ini dinilai menyesatkan. Pengguna aliran ini bernama Ma‘bah Al-Jauhani Al-Bishri dari Irak tewas dibunuh penguasa masa itu, akhir abad pertama Hijrah, yakni Abdul Malik bin Warman. Aliran Qadariyah ini amat moderat. Orang Barat umumnya berpendapat seperti ini. Dalam bukunya berjudul Berpikir Maju Sumber dari Setiap Sukses; Napoleon Hill menulis, "Kita adalah pencipta nasib kita sendiri." Tatkala Menley menulis kata-kata mutiaranya yang terkenal itu, maka ia menekankan, nasib kita berada dalam tangan kita sendiri. la berkata, "Akulah majikan nasib hidupku, akulah nahkoda jiwaku!".
Ajaran yang umum dianut umat Islam, khususnya di Indonesia dewasa ini adalah Aliran "Ahli Sunnah Wal Jamaah". Ajaran aliran ini sampai sekarang masih tetap dianut sebagian besar kaum Muslimin. Menurut ajaran aliran itu, manusia diwajibkan berikhtiar, berusaha untuk kebaikan keberuntungan hidupnya. Allah yang menentukan berhasil atau tidaknya ikhtiar itu. Manusia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, ikhtiar menurut kadar kekuatannya sebagai manusia. Manusia ingin makan harus mencari rezeki yang halal, ingin pandai harus belajar, ingin kaya harus mau banting tulang mengais rezeki, sebab Tuhan tak akan menurunkan hujan emas dari langit.
Karena itu, manusia tak bisa hanya bertopang dagu menantikan jatuhnya emas dari langit, tanpa berusaha. Ingin bahagia harus berusaha menjalankan tuntutan agama dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Al Uztadz Ja‘afar Amir mengatakan, manusia dalam kehidupannya harus selalu berikhtiar mencapai apa yang dimaksud kebahagiaan hidupnya. Menurut beliau, berikhtiar itu wajib hukumnya bagi manusia.
Dalam bukunya berjudul, Keajaiban Kekuasaan; Prof. Amin Rais mengatakan, seringkali kita mendengar arti Islam sebagai sikap berserah diri secara sepenuhnya (total surrender) kepada Allah. Menurutnya, mengartikan Islam seperti ini tidak keliru, tetapi dapat disalahpahami sebagai Muslim yang pasif, pasrah, dan tidak punya semangat hidup tinggi. Semuanya terserah kemauan Tuhan. Karena itu, agar makna Islam tidak keliru dipahami, Islam juga harus diartikan sebagai komitmen aktif kepada kehendak Ilahi. Dengan demikian, seorang Muslim memiliki total commitment menegakkan kebenaran dan keadilan.
Karena Islam merupakan identitas utama Melayu, maka total commitment seperti itu harus menjadi sikap orang Melayu dalam segala bidang kehidupan, terutama etos kerja. Kita berikhtiar sekuat tenaga mengisi kehidupan ini, mengenai berhasil tidaknya, serahkan secara total kepada Allah. Yang mengukur dan mengetahui rezeki manusia, secupak maupun segantang adalah Allah, rezeki elang atau musang itu juga Allah. Manusia hanya wajib berusaha untuk mendapatkan lebih.
Sikap dan pandangan hidup orang Melayu tentang takdir mempengaruhi kualitas etos kerja mereka. Sebagai orang Islam, orang Melayu tidak dapat melawan takdir Ilahi. Tetapi orang Melayu dapat melawan kesalahan pemahaman tentang takdir. Kesalahan pemahaman tentang takdir akan membuat orang Melayu terbelenggu dalam ketergantungan kepada pihak lain. Keadaan ini akan membuat wawasan berpikir mereka menjadi sempit, sehingga satu-satunya lapangan kerja yang tampak di dalam mata mereka adalah sebagai pegawai negeri dan karyawan perusahaan-perusahaan besar. Mereka tidak menyadari bahwa lapangan kerja dapat diciptakan sendiri. Allah telah mengaruniai tanah Melayu dengan sumber daya alam yang melimpah. Orang Melayu harus menggunakan akalnya untuk mengolahnya untuk kesejahteraan mereka sendiri. Orang Melayu tak dapat menunggu orang lain yang mengolahnya dan menumpang hidup kepada mereka.
Untuk sampai kepada tahapan itu, orang Melayu terlebih dahulu harus mengembangkan budaya berpikirnya. Orang Melayu harus kembali ke jati dirinya sehingga memiliki rasa percaya diri yang besar, punya keyakinan yang besar, motivasi, dan daya kreativitas yang unggul untuk mengembangkan kemampuan dirinya, siap menyusun jalan menuju masa depan yang lebih gemilang. Generasi muda Melayu harus menyadari bahwa sumber keberhasilan seseorang bukan di tangan orang lain, melainkan di dalam kepala mereka sendiri
Kesimpulan
- Yang kita cita-citakan adalah bagaimana menjadi orang Melayu yang maju dengan tetap sebagai orang Melayu menjadikan budaya Melayu sebagai jati dirinya.
- Berpikir merupakan budaya Melayu, tetapi budaya berpikir orang Melayu tidak berkembang secara signifikan. Keadaan ini menyebabkan etos kerja orang Melayu menjadi lemah, sehingga kehidupan mereka terpuruk dan tertinggal dibandingkan dengan etnis-etnis lain di Asia Tenggara.
- Orang Melayu harus menyadari bahwa keadaan mereka memang tertinggal dibandingkan dengan etnis-etnis lain di Asia Tenggara. Kesadaran ini hendaklah disambut dengan jiwa yang besar, sehingga tidak menimbulkan rasa iri dan dengki terhadap etnis-etnis lain yang lebih maju. Sebaliknya justru membangkitkan semangat bersaing yang kuat, sehingga membangkitkan hasrat untuk maju mengejar ketertinggalannya dari etnis-etnis lain yang sudah maju. Orang Melayu harus sadar bahwa mereka punya kesempatan untuk maju bersama dengan etnis-etnis lain yang sudah maju.
- Supaya orang Melayu boleh mengejar ketertinggalannya dari etnis-etnis lain itu, mereka harus bersedia membuka diri, mengakui kelebihan-kelebihan, dan mau belajar kepada orang lain yang lebih maju.
- Ketertinggalan dan keterpurukan orang Melayu dibandingkan etnis lain adalah gejala global. Oleh karena itu, pengembangan budaya berpikir Melayu untuk memperkuat etos kerja Melayu, hendaklah merupakan suatu gerakan Melayu. Gerakan itu hendaklah disosialisasikan dan diberdayakan mulai dari level usia dan masyarakat paling bawah, sampai kepada yang paling atas.
- Ada kesalahan pemahaman mengenai makna takdir di kalangan orang Melayu, terutama yang tinggal di pelosok-pelosok negeri Melayu. Gejala ini ditandai dengan adanya beberapa pepatah Melayu yang fatalistis. Orang Melayu harus berani melawan kesalahan pemahaman mengenai takdir ini dan membangun optimisme menuju masa depan yang lebih baik.
- Budaya berpikir orang Melayu perlu dilestarikan dan dikembangkan, agar orang Melayu dapat mengikuti perkembangan dunia modern, namun tetap dengan kepribadian Melayu.
Daftar Bacaan
 1. Tunjuk Ajar Melayu, karya H. Tennas Effendi.
 2. Jati Diri Melayu, karya T. Lukman Sinar, SH.
 3. Orang Melayu, karya  Drs. Isjoni Ishaq, dkk.
 4. Khasanah Peribahasa Melayu, karya Sulaiman Zakaria.
 5. Berpikir Positif, karya Norma Vincent Peale.
 6. Berpikir Bertindak, karya Doug Hooper.
 7. Berpikir dan Berjiwa Besar, karya David J Schwartz.
 8. Membina Pribadi Dinamis, Kreatif  karya Wiliam GG & William 0 U.
 9. Pribahasa, terbitan Balai Pustaka.
 10. Kandil Akal di Pelataran Budi karya Al azhar dan Elmustian
 11. Keajaiban Kekuasaan  karya Dr. Amien Rais
 12. Pelajaran Berpikir, Berpikir Lateral Enam Topi Berpikir, dan lain-lain  karya Edward de Bono.
 13. Berpikir Maju Sumber Dan Setiap Sukses, karya Napoleon Hill.
 14. Dilema Melayu, karya Mahathir Muhammad.
 15. Filsafat Takdir, karya Arifin Jami‘an M.
 16. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), karya A. Samad Ahmad.
________________________
Tulisan ini disampaikan pada seminar Budaya Melayu se-Dunia, dalam rangka Festival Budaya Melayu se-Dunia yang diselenggarakan pada tahun 2003 di Pekanbaru, Riau.
________________________
Sudarno Mahyudin, adalah seorang Budayawan yang tinggal di Bagan Siapi-Api, Rokan Hilir, Riau.
Kredit foto : Koleksi Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
Tuliskan komentar Anda !
 
      	    
  	   	Member login

Bank Mandiri
Rekening Nomor :
137.000.3102288
Atas Nama :
Yayasan AdiCita Karya Nusa
Atau
Bank BCA
Rekening Nomor :
445.085.9732
Atas Nama :
Mahyudin Al Mudra
Konfirmasi pembayaran,
SMS ke : 0852 286 6060 7
atau lewat line Customer Servis di ( 0274 ) 377067
atau email akn@adicita.com atau adicita2727@yahoo.com
atau
Bagian Marketing Proyek
0852 286 6060 7
 
 
    |  Online | : 101 | 
|  Hari ini | : 960 | 
|  Kemarin | : 4.351 | 
|  Minggu kemarin | : 20.554 | 
|  Bulan kemarin | : 123.278 | 
|  Total | : 7.133.907 | 
 
   
			 
    

