Resensi
Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan
31 Desember 2016 10:14:06 
	
| Judul Buku | : | Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan | 
| Penulis | : | Prof. Dr. Koentjaraningrat, dkk | 
| Editor | : | Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A. | 
| Penerbit | : | Adicita Karya Nusa, Yogyakarta | 
| Cetakan | : | Edisi Kedua, Cetakan Pertama, 2016 | 
| Tebal | : | lxxxvi + 882 halaman | 
| Ukuran | : | 16 x 23,8 cm | 
Buku ini adalah himpunan kajian tentang masyarakat dan budaya Melayu pada masa lalu dan masa kini, yang selanjutnya menjadi landasan untuk meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan. Para penulis berusaha menjawab berbagai problematika yang menggayuti suku bangsa Melayu, dan sesungguhnya juga menggayuti suku-suku bangsa lain di nusantara: persoalan identitas dalam konteks masyarakat Indonesia – apa yang Melayu dan apa yang bukan Melayu (h. xxxix).
Kertas-kertas kerja di dalam buku ini pernah dibentangkan oleh masing-masing penulisnya dalam sebuah seminar kebudayaan di Riau pada tahun 1983. Kertas-kertas kerja tersebut dianggap penting untuk dihimpun kembali dalam sebuah buku karena identitas Melayu, yang diusahakan melalui kebudayaannya selama berabad-abad, hingga sekarang – dan mungkin juga hingga nanti – masih terus dikaji dan dibangun kembali oleh puak-puak Melayu.
Usaha untuk memahami Melayu adalah sebuah proses tanpa akhir karena Melayu, dan kemelayuan, adalah proses itu sendiri. Ketika kita berusaha membaca dan memahaminya, kita adalah bagian dari proses itu sendiri. Jadi, dapat dimafhumi jika hal-ihwal yang diungkapkan oleh kertas-kertas kerja pada tahun 1983 itu pun masih belum selesai hingga sekarang: masih dalam proses.
Usaha itu, dalam buku ini, dilakukan dalam bidang-bidang kebudayaan yang luas: bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, sastra dan sastrawan, naskah dan penelitinya, seni pertunjukan, kepribadian, adat-istiadat, organisasi sosial, teknologi, dan persepsi tentang Melayu oleh orang Melayu sendiri maupun oleh orang non-Melayu. Karena merupakan sebuah proses, maka simpulan-simpulan kertas kerja tersebut masih patut dicermati dengan sikap kritis.
Secara esensial maupun kontekstual, Melayu dan kemelayuan dapat ditemukan pada unsur-unsur kehidupan masyarakat Melayu dan budaya Melayu. Oleh karena itu, cara membaca dan memahami Melayu dan kemelayuan yang paling ideal adalah dengan menempatkan kedua hal itu dalam relasi dengan budaya-budaya yang lain.
Upaya pembacaan dan pemahaman Melayu dan kemelayuan melalui kepribadian terlihat sangat menarik. Orang Melayu konon memiliki ciri-ciri kepribadian yang unik, antara lain:
- Lebih suka menghindari konflik dan ketidaknyamanan dalam interaksi sosial dengan menghindari kontak dengan individu-individu yang dianggap menyebabkan ketidaknyamanan tersebut.
- Lebih suka menyampaikan sesuatu secara tidak langsung, misalnya menggunakan pantun atau perumpamaan.
- Lebih suka menahan diri dalam banyak hal, seperti misalnya dalam hal kekayaan atau penghasilan.
- Orang Melayu memiliki sifat sentimental sebagaimana tercemin dalam lagu-lagu Melayu.
- Gabungan dari berbagai kepribadian tersebut memberi kesan bahwa orang Melayu memiliki kepribadian introvert (tertutup).
- Gabungan dari berbagai kepribadian tersebut justru melahirkan kepribadian lain orang Melayu, yaitu mereka suka damai dan toleran atau tolak-ansur. Namun, di balik itu semua, jika orang Melayu merasa direndahkan, untuk mempertahankan harga diri mereka terkadang muncul dalam perilaku “amuk” (amuk massa) (h. 441).
Pembacaan Melayu dari sisi sejarah menjadi tema yang sangat krusial karena sejarah Melayu selalu bersentuhan dengan kekuasaan bangsa asing, seperti India, Turki, Timur Tengah, Cina, dan Eropa. Persentuhan ini mengakibatkan sejarah Melayu menjadi beragam dan penuh gejolak politik. Bahkan, dalam tataran tertentu, sejarah Melayu menjadi sukar dipahami sehingga berefek pada suramnya identitas Melayu itu sendiri (h. 9-87).
Pembacaan Melayu dari sisi kebudayaan, seperti bahasa, seni, adat istiadat, organisasi sosial, dan teknologi, menjadi tema yang sangat cair dan menarik. Dalam sejarahnya, kebudayaan Melayu telah berdiaspora melintasi batas ruang dan waktu. Ini membuktikan bahwa orang Melayu sangat terbuka dengan perbedaan. Diaspora Melayu juga menunjukkan bahwa para pemimpin Melayu zaman dahulu sangat menyadari pentingnya multikulturalisme bagi masyarakat dan masa depan peradaban Melayu (h. 99-625).
Dalam konteks kebudayaan, tema kebudayaan Melayu seharusnya menjadi modal utama puak-puak Melayu untuk menabalkan Melayu dan masyarakatnya sebagai sebuah suku bangsa yang egaliter dan universal, bukan justru menjadi kebudayaan yang terkesan eksklusif. Selain itu, fakta lain yang sulit diganggu-gugat adalah bahwa bahasa Melayu merupakan cikal-bakal bahasa Indonesia yang digunakan hingga saat ini sebagai lingua franca.
Para penulis artikel yang terhimpun dalam buku ini mayoritas adalah kaum sejarawan, budayawan, dan ilmuwan sosial. Mereka tampak menyadari pentingnya membaca dan memahami Melayu sebagai sebuah bangsa besar yang memiliki pengaruh luas. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bila para pengkaji mendorong agar kebudayaan Melayu terus dilestarikan agar tidak punah.
Identitas Melayu Identitas Nasional?
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban mengembangkan budaya nasional. Budaya nasional didefinisikan sebagai “puncak-puncak kebudayaan” daerah dan kebudayaan etnis di Indonesia. Pengembangan dilakukan dengan mengangkat unsur-unsur kebudayaan etnis untuk memperkokoh kebudayaan nasional. Berdasarkan UUD 1945 ini, maka kebudayaan daerah dan etnis dianggap akan kuat jika dikendalikan oleh negara. Pertanyaannya, dengan melihat perdebatan yang belum kunjung usai tentang identitas Melayu, dapatkah kebudayaan Melayu menjadi salah satu penanda identitas nasional?
Globalisasi telah melanda dunia, termasuk Indonesia. Kebudayaan Melayu yang diharapkan oleh negara bisa menjadi salah satu benteng untuk menahan segala dampak dari globalisasi ternyata justru kewalahan. Tidak sedikit unsur-unsur kebudayaan Melayu yang hilang dan punah akibat globalisasi. Tari Zapin misalnya, saat ini sudah sulit ditemukan. Demikian pula dengan Tari Jangger Sasak yang hanya menyisakan baju penarinya saja. Mencari penutur pantun-pantun Melayu seakan mencari jarum di jerami. Dalam kondisi ini, alih-alih memperkuat kebudayaan nasional, untuk mempertahankan identitas kebudayaan Melayu sendiri sudah menjadi perjuangan yang membutuhkan tenaga ekstra.
Permasalahannya adalah, pembacaan Melayu dari sisi identitas masih menjadi sesuatu yang sensitif karena hingga saat ini identitas Melayu masih terus diperdebatkan. Pengerucutan identitas Melayu yang terhegemoni oleh pandangan parsial dirasa justru akan menjebak Melayu pada kontradiksi sejarahnya, di mana Melayu pernah bersentuhan dengan berbagai agama, kekuasaan, dan teknologi. Berdasarkan pemikiran ini, maka tidak heran bila pengkaji Melayu, seperti Mahyudin Al Mudra, melontarkan gagasan mengenai pentingnya redefinisi Melayu.
(Yusuf Efendi/Res/25/05-2010)
Other news
Tuliskan komentar Anda !
 
      	    
  	   	Member login

Bank Mandiri
Rekening Nomor :
137.000.3102288
Atas Nama :
Yayasan AdiCita Karya Nusa
Atau
Bank BCA
Rekening Nomor :
445.085.9732
Atas Nama :
Mahyudin Al Mudra
Konfirmasi pembayaran,
SMS ke : 0852 286 6060 7
atau lewat line Customer Servis di ( 0274 ) 377067
atau email akn@adicita.com atau adicita2727@yahoo.com
atau
Bagian Marketing Proyek
0852 286 6060 7
 
 
    |  Online | : 107 | 
|  Hari ini | : 968 | 
|  Kemarin | : 4.351 | 
|  Minggu kemarin | : 20.554 | 
|  Bulan kemarin | : 123.278 | 
|  Total | : 7.133.915 | 
 
   
			 
    

